Selasa, 06 September 2011

Jalan Cinta kepada sang Khaliq

" Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku ( Muhammad SAW. ), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu . Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. 3:31)


Segala puji bagi Allah Ta’ala, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta kepada siapa saja yang mengikuti jejak mereka sampai hari Qiyamat.
Nafsu-nafsu syahwat bergelimpangan tercecer terus menerus di televisi dan radio, nyanyian-nyanyian seronok, cerita dan filem bohong dan selera rendah tidak bermutu, adegan haram, aurat terbuka, campur baur laki-perempuan, itu bisa didengar dan dilihat oleh kita. Naudzubillah bila diri kita ikut terjebak di dalam alur syetan macam itu.
Inilah kondisi yang akan membuat hati manusia kotor, seperti cermin bersih yang tercoreng bletok. Sehingga telinga, mata dan hatinya saat ayat Al Qur’an dan hadist ditulis atau dibacakan, hati ber-aksi keras. Matanya hanya bengong, dan hatinya tidak dapat memahami apa yang sudah dibacakan itu tadi. Rasulullah pernah ingatkan, Surga itu dibayang-bayangi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka itu dibayang-bayangi oleh kobaran nafsu syahwat.
Yang parah lagi, jika hati seseorang itu loyo, lemah mental, dalam menghadapi kehidupan, baik berfikir tentang diri sendiri maupun keluarga, apalagi masyarakatnya. Imam Syafi’i berkata, jika anda takut hidup, mati saja. Jika anda takut mati, jangan hidup. Artinya, kalau memang kita ditaqdirkan Allah hidup, pasti Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan lapar, pasti dia akan menjamin dan memberi rizki dari arah mana saja Ia datangkan, tapi ingat, itu semua harus lewat usaha. Bukankah Allah telah ingatkan lewat ayat-Nya yang berbunyi, Dan orang yang yakin dan bersungguh-sungguh di dalam JALAN KAMI, pasti akan kami beri dia jalan penyelesaiannya.
Kesempatan kita untuk beramal yang benar dan baik masih ada. Namun aneh, kadang seorang bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak dengar, pura-pura lemah, pura-pura sibuk dengan dunianya, sehingga dia betul-betul tenggelam dalam berpura-pura. Tidak jelas dan tidak bisa diambil pijakan bicaranya. Apakah kita ini termasuk orang yang ke-srimpet dalam hal tersebut. Mari kita evaluasi kekurangan diri kita sebelum dievaluasi oleh orang lain.
Betulkah kita ingin masuk surga. Apakah cara masuk surga itu dengan jalan dan cara kita sendiri ? Atau dengan cara-cara yang dibuat oleh hawa nafsu manusia yang berdasar otak dan syahwatnya. Sikap macam apa ini. Surganya siapa memang. Memang surganya sendiri ? Surga adalah milik Allah Ta’ala, maka jika seseorang ingin masuk ke dalamnya, ia harus mengikuti tata - cara-Nya. Siapa ingin masuk surga ia harus CINTA kepada Allah.
Ibnu Umar berkata : mengenai ayat di atas, Rosulullah bersabda bahwa seorang mukmin tidak akan bisa sempurna imannya sampai ia menuundukkan hawa nafsunya, kemudian mengikuti apa yang datang darinya. ( Al Qur’an dan As-Sunnah )
Abu Darda' berkata : maksud mengikuti Rasul di dalam ayat tersebut adalah ikut di atas kebajikan, taqwa, tawadhu' dan rendah diri di kalangan mukminin, secara teori maupun prakteknya.
Al Hasan dan Ibnu Juraij berkata : suatu ketika orang-orang berkumpul dan mengaku bahwa dirinya adalah mencintai Allah dengan berkata, " Kami cinta kepada Rab kami," lalu turunlah ayat tersebut di atas. Allah hendak menguji ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Kemudian para Sahabat benar-benar mengikuti Rasulullah lewat amalannya setelah pengakuan lisannya. Dalam riwayat yang lain Al Hasan mengutip sabda Nabi, Siapa benci terhadap Sunnahku, maka ia bukan dari ummatku. Kemudian Nabi membacakan ayat tersebut.
Sahal bin Abdillah berkata : Tanda cinta Allah adalah cinta Al Qur’an, tanda cinta Al Qur'an adalah cinta Nabi, tanda cinta Nabi adalah cinta Sunnah-nya, tandanya cinta kepada Allah, Al Qur’an, Nabi dan Sunnahnya dia berarti cinta kepada Akhirat, tanda cinta akhirat berarti cinta dirinya sendiri, tanda cinta diri sendiri adalah hendaklah ia jauhi dunia, tanda jauhnya dari dunia adalah ia mengambil darinya hanya sekedar bekal hidup atau penegak tulang rusuk agar kuat dan sempurna ibadahnya.
Al Maroghi berkata : Sesungguhnya cara mencintai Allah adalah dengan mengikuti Rasulullah, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang telah dibawanya, dengan demikian seseorang akan mendapat ampunan dari Allah atas dosa-dosanya.
Ibnu Katsir berkata : ayat tersebut untuk memberikan raport kepada orang-orang yang mengaku dirinya cinta kepada Allah dengan raport yang bohong/dusta atas dirinya, kecuali kalau pengakuannya itu dibarengi dengan mengikuti Al Qur'an dan As-Sunnah yang terwujud lewat perkataan dan perbuatannya sebagaimana sabda Rasul : Siapa yang beramal tanpa ada dasar dari kami, maka tertolaklah amalanya.
Maka jujurlah sikap seorang mukmin, ucapanya sesuai dengan hati dan anggota badannya. Jika seseorang mengaku dirinya mukmin, tiga point tersebut merupakan refleksi pola hidupnya. Sehingga betul-betul bermutu tinggi dan kesatria tindakannya.
PERINGATAN DIRI DAN KELUARGA
1. Jika jiwa seseorang masih tertempel kotoran amal / dosa, mana mungkin dia akan sampai cintanya kepada Allah. Kalau begitu, cinta berarti masih kepada hawa nafsu.

2. Sudahkah kita betul-betul cinta kepada Allah ? Atau kita masih lebih cinta/condong kepada hal-hal yang berselera rendah, dasar-dasar pola pikir manusia, baik dari segi obrolan, pendengaran ataupun rutinitas hariannya ? Jawabnya adalah terletak dalam diri masing-masing.
Surga harus diraih dengan jalan cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah tidak akan sampai, kecuali dengan cinta / mengikuti Rasulullah SAW. Cinta, pasti ada pengorbanan. Dalam hal ini, hawa nafsu, sikap ego, seenaknya sendiri, harus dikorbankan dan diredam demi cintanya kepada Allah SWT. Kemudian tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya.
[ Lihat Tafsir Al Qur’anul Adhim 1/358. Ruhul Ma’ani, 2/129. Al Qosimi, 4/84. Al Jami liahkamil Qur’an, 4/59. Jamiul Bayan, 3/232. Ad-Durrul Mantsur, 2/177. Al Usus Fie Tafsir, 2/733. Taisir Ali Al Qodir,1/265. Fathul Qodir,1/419. Al Kasy-Syaf, 1/319. Bada’iut Tafsir Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, 1/497. Al Manar, 3/284 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar