Sabtu, 29 Oktober 2011

Ukhti Fiilah,, Masihkah kau belum berjilbab..????

Beralasan belum siap berjilbab karena yang penting hatinya dulu diperbaiki..?
Kami jawab, ”Hati juga mesti baik. Lahiriyah pun demikian. Karena iman itu mencakup amalan hati, perkataan dan perbuatan. Hanya pemahaman keliru yang menganggap iman itu cukup dengan amalan hati ditambah perkataan lisan tanpa mesti ditambah amalan lahiriyah. Iman butuh realisasi dalam tindakan dan amalan”
Beralasan belum siap berjilbab karena mengenakannya begitu gerah dan panas..?
Kami jawab, ”Lebih mending mana, panas di dunia karena melakukan ketaatan ataukah panas di neraka karena durhaka?” Coba direnungkan!
Beralasan lagi karena saat ini belum siap berjilbab?
Kami jawab, ”Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa jika sudah keriput dan rambut ubanan? Inilah was-was dari setan supaya kita menunda amalan baik. Mengapa mesti menunda berhijab? Dan kita tidak tahu besok kita masih di dunia ini ataukah sudah di alam barzakh, bahkan kita tidak tahu keadaan kita sejam atau semenit mendatang. So … jangan menunda-nunda beramal baik. Jangan menunda-nunda untuk berjilbab.”
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut seharusnya menjadi renungan:
“Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416). Hadits ini menunjukkan dorongan untuk menjadikan kematian seperti berada di hadapan kita sehingga bayangan tersebut menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan sholeh.
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Subhanallah..
Masihkah kamu ragu wahai Ukhti fillah untuk menutup kemolekan tubuhmu dengan hijab? masihkah?  Ingatlah, sesungguhnya api neraka akan membakar tubuh yang kau sajikan untuk lelaki hidung belang, kau bisa beralasan ini dan itu, Demi Allah, sesungghnya, kita tak akan mampu menebak kapan nyawa ini akan diambil oleh Malaikat Maut..! Innalillahi waa inna ialaihi rojiun..

Jumat, 28 Oktober 2011

Diam Setelah Membaca Al Fatihah

عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ سَكْتَتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ فَكَتَبْنَا إِلَى أُبَيِّ ابْنِ كَعْبٍ بِالْمَدِينَةِ فَكَتَبَ أَنَّ سَمُرَةَ قَدْ حَفِظَ قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْنَا لِقَتَادَةَ مَا هَاتَانِ السَّكْتَتَانِ قَالَ إِذَا دَخَلَ فِي صَلَاتِهِ وَإِذَا فَرَغَ مِنَ الْقِرَاءَةِ ثُمَّ قَالَ بَعْدُ وَإِذَا قَرَأَ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ) قَالَ وَكَانَ يُعْجِبُهُمْ إِذَا فَرَغَ مِنَ الْقِرَاءَةِ أَنْ يَسْكُتَ حَتَّى يَتَرَادَّ إِلَيْهِ نَفَسُهُ

Dari Qatadah dari Hasan Al Bashri dari Samurah ia berkata,” Ada dua  kali diam yang saya ingat dari Rasulullah.” Imran bin Husain mengingkarinya dan mengatakan,” Yang kami hafal hanya ada satu kali diam.” Maka kami menulis surat kepada Ubay bin Ka’ab di Madinah. Maka Ubay  menulis jawabannya,” Samurah yang hafal (pendapatnya benar –pen). Sa’id (perawi) bertanya kepada Qatadah,” Apa dua kali diam itu ?” Qatadah menjawab,” Diam setelah masuk dalam sholat dan jika selesaid ari membaca.” Qatadah lalu berkata,” Dan jika selesai membaca (wa laa adh dhaalin)”. Beliau senang bila diam sesaat setelah selesai membaca (Al Fatihah) sekedar kembalinya nafas (tidak terengah-engah setelah membaca al fatihah –pen).[1]
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang diam dalam sholat :
1-      Tidak ada diam dalam sholat ; sehingga tidak disunahkan membaca doa iftitah, isti’adzah dan diamnya imam setelah membaca surat. Ini pendapat imam Malik.
2-      Dalam sholat hanya ada satu kali dian, yaitu diam untuk membaca doa iftitah. Ini pendapat Abu Hanifah.
3-      Dalam sholat ada dua kali diam, sebagaimana disebutkan dalam hadits dalam as sunan. Tapi diriwayatkan dalam hadits tersebut bahwa beliau diam setelah selesai membaca (surat), dan inilah yang benar. Juga diriwayatkan bahwa beliau diam setelah membaca al fatihah, sehingga sekelompok murid imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan disunahkan tiga kali diam.
Diam setelah membaca al fatihah, menurut para murid imam Syafi’i dan sekelompok murid imam Ahmad, adalah agar makmum membaca al fatihah. Yang benar, tidak disunahkan kecuali dua kali diam. Dalam hadits memang tidak disebutkan selain hal ini (dua kali diam), sementar salah satu dari dua riwayat ini salah, sebab kalau tidak salah tentulah ada tiga kali diam. Inilah yang ditegaskan oleh imam Ahmad, bahwa tidak ada diam kecuali dua kali saja. Diam yang kedua adalah ketika telah selesai membaca surat untuk beristirahat dan sebagai pemisah antara membaca surat dengan ruku’.
Adapun diam setelah membaca al fatihah, imam Ahmad tidak menganggapnya sunah. Demikian pula imam Malik dan Abu Hanifah. Jumhur ulama tidak menyatakan sunahnya imam diam setelah membaca al fatihah agar makmum membaca al fatihah. Alasannya, bacaan makmum jika imam sudah membaca dengan keras, hukumnya tidak wajib, juga bukan disunahkan, bahkan dilarang.[2]
Imam Ibnu Qudamah menyatakan,” Mustahab (sunah) bagi seorang imam untuk diam sesudah membaca al fatihah sekedar istirahat dalam qira’ah. Dan bagi makmum untuk membaca al fatihah, supaya tidak ada anggapan bahwa al fatihah telah dihapus. Inilah madzhab Al Auza’i, Syafi’i dan Ishaq.”[3]
Imam Ahmad dan kebanyakan murid beliau tidak menyenangi bagi makmum membaca al fatihah ketika imam diam, kecuali kalau diamnya imam dalam waktu yang lama yang memungkinkan makmum untuk  membaca doa iftitah dan al fatihah. Apabila diamnya imam sebentar, maka lebih utama baginya membaca doa iftitah daripada membaca al fatihah. Namun bila diamnya imam dalam waktu lama, membaca al fatihah lebih utama daripada tidak membaca.
Wajibnya membaca al fatihah bagi makmum dalam sholat jahr sendiri masih diperselisihkan ulama. Mayoritas menyatakan makmum tidak perlu membaca al fatihah, karena bacaan imam adalah bacaan makmum juga. Karena itu, kalaupun ada waktu diam setelah bacaan al fatihah imam, imam Ahmad dan para murid beliau lebih senang membaca surat lain mengingat bacaan al fatihah sudah didengar dari bacaan imam.
Ulama yang melarang makmum membaca al fatihah dalam sholat jahr adalah mayoritas ulama salaf dan khalaf, berdasar dalil-dalil dari Al Qur’an dan as sunah. Ulama yang mewajibkan membaca al fatihah bagi makmum dalam sholat jahr, haditsnya dilemahkan oleh para ulama.[4]
Dari keenam sanad hadits Samurah bin Jundub yang menerangkan diamnya imam setelah membaca al fatihah atau surat lain, kesemuanya dilemahkan oleh para ulama.[5]  Dengan demikian, tidak ada dalil shahih yang secara tegas memerintahkan imamuntuk diam setelah membaca al fatihah dengan tujuan makmum bisa membaca al fatihah. Wallahu a’lam bish shawab.



[1] - HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Al Baihaqi 2/58, Ad Daruquthni 1/336, dan Al Hakim 1/223, diriwayatkan dengan enam sanad dengan lafal sedikit berlainan. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim dan adz Dzahabi (Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab 3/297). Dilemahkan syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 505.
[2] - Majmu’ Fatawa 23/338-339. Lihat juga Zaadul Ma’ad 1/201.
[3] - Al Mughni  1/490.
[4] - Majmu’ Fatawa 23/ 339-340.
[5] - Irwaul Ghalil 2/284-288.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Runtuhnya Democrazy,, Saatnya Revolusi.....!!!!!!!!


Keruntuhan Demokrasi sudah di ambang pintu. Hal itu ditandai dengan Revolusi Tunisia yang berhasil mengusir diktator demokrasi Ben Ali, yang kemudian berlanjut dengan  Revolusi Mesir yang berhasil menggulingkan diktator demokrasi Husni Mubarok. Angin revolusi mulai berhembus ke sejumlah Negara Demokrasi Arab seperti  Al-Jazair, Yaman, Lybia dan Syria. Bahkan negara-negara Demokrasi Monarki Arab pun mulai terusik, seperti  Maroko, Yordania, Saudi, dan negara-negara Teluk.

Selama ini Sistem Demokrasi hanya melahirkan diktator-diktator  dunia, dan menghasilkan koruptor kelas kakap, bahkan menciptakan kapitalis-kapitalis internasional yang rakus dan serakah. Sistem Demokrasi adalah  sumber problem yang banyak melahirkan gerombolan mafioso dan generasi oportunis, sekaligus merupakan wadah tempat bersemayamnya anjing-anjing penjilat kekuasaan. Hal tersebut  karena  Sistem Demokrasi merupakan pintu masuk kaum Kapitalis untuk meraih kekuasaan.

One man one vote dalam Sistem Demokrasi telah memberi peluang kepada kaum borjuis untuk membeli suara rakyat, sehingga saat berkuasa mereka berlomba mengeruk kekayaan untuk mengembalikan modal beli suara, sekaligus mengais keuntungan sebesar-besarnya.  Sistem Demokrasi merupakan sumber malapetaka dan kehancuran.
Sistem Demokrasi penuh intrik dan tipu muslihat, karena sistem ini selalu bertopeng kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, musyawarah dan mufakat. Padahal, justru sistem ini yang paling tidak berperikemanusiaan, lihat saja bagaimana negara-negara sekutu atas nama Demokrasi memporak-porandakan Iraq dan Afghanistan. Justru sistem ini yang paling tidak menghargai kesetaraan, buktinya kulit berwarna masih menjadi warga kelas dua di negara-negara Barat yang menganut demokrasi. Justru sistem ini yang paling tidak adil, buktinya secara terang-terangan mereka melarang warga muslimah di negeri mereka untuk berjilbab.

Soal musyawarah mufakat dalam Sistem Demokrasi hanya omong kosong. Inti Demokrasi adalah suara terbanyak, bukan musyawarah mufakat. Selain itu musyawarah dalam Demokrasi bisa menghalalkan yang haram, dan bisa pula mengharamkan yang halal. Yang penting tergantung suara terbanyak. Buktinya, Sistem Demokrasi dengan suara terbanyak bisa membolehkan perkawinan sejenis (Homo dan Lesbi), lokalisasi pelacuran, legalisasi perjudian, legitimasi aliran sesat, formalisasi korupsi dan halalisasi segala keharaman. Dan sebaliknya, Sistem Demokrasi dengan suara terbanyak juga bisa melarang jilbab, cadar, tabligh, da’wah, hisbah, pembangunan masjid, madrasah dan pesantren.

ISLAM vs DEMOKRASI

Antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi memiliki perbedaan yang sangat besar dan mendasar serta fundamental, sehingga keduanya mustahil disatukan. Islam dan Demokrasi bagaikan langit dan bumi, umpama matahari dan bulan, seperti lautan dan selokan. Dalam rangka membuka Topeng Demokrasi, maka perlu diuraikan beberapa perbedaan yang sangat prinsip dan fundamental antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi.

Pertama, Sistem Islam berasal dari sumber ilahi karena datang dari wahyu Allah Yang Maha Agung dan Maha Suci, sehingga bersifat sangat sempurna. Sedang Sistem Demokrasi berasal dari sumber insani karena datang dari akal manusia yang lemah dan penuh kekurangan, sehingga sangat tidak sempurna. Karenanya, dalam Sistem Islam hukum dari Allah SWT untuk manusia, sedang dalam Sistem Demokrasi hukum dari manusia untuk manusia.

Kedua, dalam Sistem Islam wajib digunakan Hukum Allah SWT, sedang dalam Sistem Demokrasi wajib digunakan keputusan suara terbanyak. Karenanya, Sistem Islam tunduk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang Sistem Demokrasi tidak tunduk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ketiga, dalam Sistem Islam tidak dipisahkan antara agama dan negara, sedang dalam Sistem Demokrasi dipisahkan antara agama dan negara. Karenanya, Islam menolak pemahaman sekuler dan segala bentuk sekularisasi dalam berbangsa dan bernegara. Sedang Demokrasi memang lahir dari penentangan terhadap  agama, sehingga Demokrasi selalu mengusung sekularisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Keempat, dalam Sistem Islam standar kebenaran adalah akal sehat yang berlandaskan Syariat, sedang dalam Sistem Demokrasi standar kebenaran adalah akal sakit yang berlandaskan hawa nafsu kelompok terbanyak. Karenanya, dalam Sistem Islam baik buruknya sesuatu ditentukan oleh Syariat, dan wajib diterima oleh akal sehat. Sedang dalam Sistem Demokrasi baik buruknya sesuatu tergantung hawa nafsu orang banyak, walau pun tidak sesuai Syariat atau pun tak masuk akal sehat.

Kelima, dalam Sistem Islam tidak sama antara suara Ulama dengan suara Awam, antara suara orang Sholeh dengan suara orang jahat. Sedang dalam Sistem Demokrasi suara semua orang sama : Ulama dan Koruptor, Guru dan Pelacur, Santri dan Penjahat, Pejuang dan Pecundang, Pahlawan dan Bajingan, tidak ada beda nilai suaranya. Karenanya, dalam Sistem Islam hanya orang baik yang diminta pendapatnya dan dinilai suaranya, itu pun suara mereka tetap disebut sebagai suara manusia. Sedang dalam Sistem Demokrasi semua orang baik dan buruk disamakan, bahkan suara mereka semua disebut sebagai suara Tuhan.

Keenam, musyawarah dalam Sistem Islam hanya menghaqkan yang haq dan membathilkan yang bathil, sedang dalam Sistem Demokrasi boleh menghaqkan yang bathil dan membathilkan yang haq. Karenanya, dalam Sistem Islam tidak ada Halalisasi yang haram atau haramisasi yang halal, apalagi haramisasi yang wajib, sedang dalam Sistem Demokrasi ada halalisasi yang haram, dan haramisasi yang halal, bahkan haramisasi yang wajib.

Ketujuh, asal-usul Sistem Islam sudah dimulai sejak zaman Nabi Adam AS, karena sejak Allah SWT menciptakan Adam AS sudah dinyatakan sebagai Khalifah di atas muka bumi sebagaimana firman-Nya dalam  QS.2.Al-Baqarah : 30. Dan Sistem Islam tersebut sempurna di zaman Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kaidah dan tatanan kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang beliau praktekkan bersama para Sahabat yang mulia. Allah SWT menyatakan kesempurnaan Islam dalam QS.5.Al-Maidah : 3. Sedang Sistem Demokrasi konon katanya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, tapi yang jelas baru muncul pasca Revolusi Kebudayaan Perancis pd Th.1789 M, yang kemudian lahir Teori Trias Politika karya Rossou, yang kemudian terus dikembangkan dengan berbagai variasi dan aksesoris, dan hingga saat ini tidak pernah sempurna, bahkan makin hari makin tampak bobrok dan busuknya.

Kedelapan, rentang waktu antara sempurnanya Sistem Islam di abad ke-7 pada zaman Nabi SAW (571 – 632 M) dan munculnya Sistem Demokrasi di abad ke 18 pasca Revolusi Kebudayaan Perancis Th.1789 M, menunjukkan bahwa Sistem Islam sekurangnya lebih dulu 11 abad dari pada Sistem Demokrasi. Karenanya, jika ada persamaan antara Sistem Islam dan Sistem Demokrasi, maka bisa dipastikan bahwa Sistem Demokrasi yang menyontek dan menjiplak Sistem Islam, mustahil sebaliknya.

Kesembilan, Sistem Islam telah membuktikan diri sebagai sistem terbaik yang adil, jujur dan amanah sepanjang kepemimpinan Rasulullah SAW dan Khulafa’ Rasyidin, serta berhasil mengantarkan umat Islam menjadi umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.3. Ali-’Imran : 110. Sedang Sistem Demokrasi sejak kelahirannya hingga kini tak pernah berhasil membuktikan diri sebagai  sistem terbaik, bahkan sebaliknya, makin hari makin terkuak bobrok dan rusaknya.

Kesepuluh, Sistem Islam adalah bagian dari kewajiban agama, sehingga penerapannya mendatangkan pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Sedang Sistem Demokrasi bukan bagian dari kewajiban agama, bahkan merupakan penentangan terhadap agama, sehinggga penerapannya hanya akan mendatangkan dosa dan malapetaka.

ISLAM YES, DEMOKRASI NO !
Dengan uraian di atas, jelas sekali bahwa Sistem Islam mengungguli Sistem Demokrasi dalam semua hal. Mulai dari keautentikan sumber dan kesempurnaannya, lalu kepatuhan kepada Syariat dan kesehatan akalnya, kemudian keaslian musyawarah dalam makna yang sebenarnya, dan kemurnian asal-usul sejarah serta keindahan peradabannya, hingga keberhasilan pembuktiannya sebagai sistem terbaik yang mendatangkan pahala dan keberkahan ilahi.
Itulah karenanya, para pemuja Demokrasi iri dan dengki terhadap Sistem Islam, dan mereka tidak rela Sistem Islam bangkit dan berjaya kembali.  Dalam dunia informasi, tiada hari tanpa propaganda media yang selalu menyudutkan Sistem Islam. Berbagai ucapan, perkataan dan pernyataan terus-menerus dilontarkan untuk memadamkan cahaya Islam. Namun demikian, cahaya Islam akan tetap bersinar, dan akan kembali memperoleh masa jayanya, sebagaimana Allah SWT firmankan dalam QS.61.Ash-Shaff : 8 – 9 dan QS.9.At-Taubah: 32 – 33.